Rumah Sum Sum merupakan salah satu wisata kuliner yang cukup populer di kota Bogor. Pendiri dari Rumah Sum Sum ini adalah Bapak Riki Febrian. Rumah Sum Sum didirikan pada tanggal 9 April 2009. Pada awalnya, Pak Riki terinsiprasi untuk membuat makanan yang unik dan berbeda di kota Bogor. Kemudian Pak Riki memperoleh ide untuk membuat suatu makanan yang berbahan dasar sum sum tulang kaki sapi, yang belum ada di kota Bogor sebelumnya. Beliau mencoba menuangkan idenya dengan membuat olahan dari tulang kaki sapi, yaitu sop sum sum sapi dan kini ada beberapa menu lainnya yang berbahan dasar sum sum tulang sapi dan sum sum tulang belakang.



Rumah Sum Sum buka setiap hari Selasa-Minggu mulai dari pukul 10.00 – 19.00, kecuali pada hari Sabtu dibuka sampai dengan pukul 21.00. Yang menjadi daya tarik dari Rumah Sum Sum ini adalah tempat makan satu-satunya di kota Bogor yang menjual sop sum sum dan berbagai aneka ragam makanan berbahan dasar sum sum. Lokasi dari Rumah Sum Sum ini terletak di Jl. Lawang Gintung No. 21, Bogor Barat yang merupakan jalur wisata, salah satunya ke The Jungle. Kisaran harga makanan yang dijual yaitu Rp 26.000 – Rp 68.000. Kapasitas dari tempat makan ini yaitu untuk 58 orang. Biasanya, Rumah Sum Sum dipadati pengunjung saat jam makan siang dan makan sore, terutama saat akhir pekan. Jumlah pengunjung dapat mencapai 100 orang di akhir pekan, sedangakan untuk hari biasa sekitar 25-30 orang.

Saat saya berkunjung ke Rumah Sum Sum, saya menemui seorang ibu muda dan temannya sedang berbincang-bincang sambil berfoto-foto dengan sop sum sum yang ada di depannya. Ia adalah Ibu Erin (ibu rumah tangga, 40 tahun) yang berasal dari Depok. Ibu Erin baru mengunjungi Rumah Sum Sum untuk yang pertama kalinya. Hal yang membuat Ibu Erin tertarik untuk mencoba rumah makan ini yaitu karena adanya liputan wisata kuliner di televisi  mengenai Rumah Sum Sum. “Menunya menarik, ngebayangin sum sum nya itu lho… Kalo tempatnya si standar.” Ujar Ibu Erin saat ditanya mengenai harapannya saat berkunjung ke Rumah Sum Sum. “ Tempatnya enak, makanannya enak, jadi uda klop. Puas, yang saya rasakan sesuai, yang sudah dibayangkan dari kemarin ternyata ya enak. Saran buat parkiran agak diperluas supaya orang masuk tuh enak. “ ungkap Ibu Erin saat ditanya pengalamannya berkunjung ke Rumah Sum Sum. Ia puas dengan apa yang disajikan oleh rumah makan ini, akan tetapi ia memiliki saran agar Rumah Sum Sum memperluas tempat parkir yang ada untuk mempermudah konsumen dalam memarkirkan mobilnya.



Rian Priatna, penanggungjawab Rumah Sum Sum









De’ Leuit merupakan sebuah restoran yang menjual berbagai macam makanan Sunda dan Oriental, didirikan oleh Ibu Irenne Elizabeth Florentina pada tahun 2010. Bermula dari kesenangannya dalam bidang masak, Ibu Irenne sudah memulai karirnya dalam membangun restoran pada tahun 1985. Mulai dari membangun rumah makan di Surya Kencana, daerah Taman Safari, sampai bergabung dengan Gili-Gili telah menjadi perjalanan Ibu Irenne sebelum membangun De’ Leuit. Salah satu yang menjadi tujuan dari Ibu Irenne membangun De’ Leuit adalah beliau melihat banyak sekali masyarakat Bogor pada hari Sabtu dan Minggu berkunjung ke Jakarta untuk mencari tempat makan yang enak dan bergengsi, entah untuk merayakan pesta atau hanya sekedar ingin “eksis”. Ia berandai-andai jika di Bogor juga ada tempat makan berkualitas yang enak dengan harga dibawah  restoran terkenal lainnya di Jakarta, sehingga masyarakat Bogor tidak perlu jauh-jauh ke restoran Jakarta untuk merayakan pesta atau hanya sekedar kumpul keluarga.

De’ Leuit buka setiap hari mulai dari pukul 10.00 – 21.30. Ibu Irenne berkata bahwa restorannya tidak pernah libur kecuali selama 3 hari setelah lebaran. De’ Leuit berlokasi di Jl. Pakuan No.3, Bogor (dekat Momomilk Barn dan Kedai Kita). Harga yang ditawarkan berkisar antara Rp 39.000 untuk menu paket hemat sampai dengan Rp 100.000. Kapasitas dari De’ Leuit sendiri adalah untuk 500 orang. Peak hours dari De’ Leuit yaitu pada saat jam makan siang, terutama pada akhir pekan. Ini dikarenakan banyaknya pengunjung dari luar kota yang berkunjung ke Bogor. 

Saat pertama kali menginjakan kaki di De' Leuit, pengunjung akan disapa dengan senyuman oleh greeter. Setelah itu, greeter akan membawa pengunjung ke tempat duduk. Pengunjung dapat merasakan suasana tradisional namun tetap modern di dalam restoran. 

De’ Leuit memiliki area bermain anak (playground). Hal ini menjadi salah satu daya tarik De’ Leuit sebagai salah satu restoran keluarga yang cukup terkemuka di kota Bogor. Terbukti, dari penyataan salah satu konsumen De’ Leuit yang saya wawancari, mengatakan bahwa alasan ia dan keluarga mengunjungi De’ Leuit karena adanya playground. Ia adalah Pak Ida (karyawan, 30 tahun) yang berasal dari Karawaci, Tangerang. Saat saya menemuinya, ia sedang bersama istrinya memperhatikan anak-anaknya yang sedang bermain di taman bermain. “Makanan enak, tempatnya nyaman, ada playgroundnya.” Begitu pendapat Pak Ida saat ditanya mengenai pengalamannya berkunjung ke De’ Leuit. Harapan Pak Ida sesuai dengan realita yang ada, maka dari itu, ia tetap berkunjung ke De’ Leuit. Menurutnya, dengan adanya playground sangat menarik dirinya untuk berkunjung berhubung ia sudah berkeluarga dan memiliki anak kecil.

Saya juga berkesempatan untuk bertanya kepada seorang wanita bernama Helen (karyawan, 26 tahun). Helen berasal dari Jakarta. Saat saya menemuinya, ia sudah selesai menyantap masakan yang ada dan sedang duduk sendiri menunggu temannya. “Tempatnya enak, adem juga, suasananya juga oke. Makanannya oke dari segi rasa dan pelayanan.” Ungkapnya ketika ditanya mengenai pengalaman yang didapat saat berkunjung ke De’ Leuit. Apa yang dibayangkan oleh Helen sesuai dengan realita yang ada. “Gaada yang mengecewakan si, menyenangkan. Karena kalo di tempat lain yang rame, agak lama melayaninya, kalo disini ngga si, pelayanan tetap cepat.” 

Ibu Irenne Elizabeth Florentina, pemilik De' Leuit

Helen, karyawan, 26 tahun

Pak Ida dan keluarga, karyawan, 30 tahun




Indonesia merupakan negara urutan kedua yang memiliki kekayaan hayati setelah Brazil. Selain itu, Indonesia juga kaya akan sumber daya manusianya. Tidak ada di negara manapun yang memiliki lebih dari 350 suku bangsa bahkan diduga lebih dari 500 suku bangsa. Setiap etnisnya memiliki spesifikasi masing-masing yang beragam, seperti orang Jawa terkenal dengan minuman jamunya.

Namun, seiring berjalannya waktu, pengetahuan sudah mulai tererosi. Banyak orang pedalaman di Kalimantan atau Sumatera yang tidak mengenal tumbuh-tumbuhan yang berasal dari daerahnya. Anak kecil pun tidak bisa membedakan antara kunyit dan temulawak, lada dan ketumbar, dan lain sebagainya. Jangan sampai suatu saat masyarakat Indonesia belajar akan kekayaan yang dimilikinya di negara lain.

Perkembangan Indonesia membuat berbagai macam sumber daya alam ikut habis, yang tersisa saat ini hanyalah budaya. Ditakutkan, generasi penerus bangsa tidak tahu lagi akan kekayaan dan pengetahuan mengenai Indonesia. Maka dari itu, pada tahun 1962, Prof. Sarwono Prawirohardjo yang pada waktu itu menjabat sebagai ketua LIPI, bertepatan dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung baru Herbarium mencetuskan Museum Etnobotani Indonesia. Museum ini berisikan pemanfaatan tumbuhan Indonesia untuk kebutuhan sehari-hari, seperti bahan sandang. Namun, museum ini baru terealisasi dan diresmikan oleh Prof. Dr. Ing B. J. Habibie pada tanggal 18 Mei 1982. Saat ini, Museum Etnobotani memiliki koleksi sebanyak 1.869 unit. Koleksi ini biasa disebut artefakta etnobotani. 



Museum Etnobotani dibuka setiap hari Senin – Jumat pukul 08.00 sampai pukul 15.00, kecuali jika ada perjanjian, maka museum dibuka pada hari Sabtu ataupun Minggu. Lokasi dari Museum Etnobotani terletak di Jalan Ir. H. Juanda No.22, Bogor. Harga tiket masuk tergolong sangat murah, yaitu Rp 3.000. Kapasitas museum untuk sekali kunjungan sekolah yaitu sekitar 250 orang. Gedung dari Museum Etnobotani adalah gedung terpanjang yang ada di kota Bogor.

Saat saya berkunjung ke Museum Etnobotani, kedua wanita tengah asyik mengitari museum sambil mengambil gambar di setiap koleksi yang ada. Nama kedua wanita tersebut yaitu Rehana (dosen, 23 tahun) dan Deniati (guru, 23 tahun). Hari itu merupakan pertama kalinya mereka berkunjung ke Museum Etnobotani. Pada saat pertama kali mereka melewati gedung Museum Etnobotani, mereka tidak menyadari bahwa itu adalah sebuah museum “Tempat sebenernya kurang merepresentatifkan sebuah museum. Cuma pas kita ngeliat ada toh museum di antara Istana Bogor, terus ada herbarium, ingin tahu, apa si itu herbarium, penasaran jadi masuk.” Ungkap kedua guru yang berasal dari daerah Cibinong tersebut. Mereka mendapatkan informasi mengenai etnobotani setelah berkunjung ke museum.

Ibu Muliati Rahayu, kepala Museum Etnobotani

Koleksi Herbarium Museum Etnobotani

Koleksi Etnobotani

Koleksi Museum Etnobotani









Ketika saya berjalan menghampirinya, Pak Muno tengah duduk bersantai sambil memandangi seorang wanita berbaju merah jambu yang sedang bermain dengan bocah cilik di Air Mancur. Pak Muno merupakan seorang suami sekaligus ayah dari seorang bocah kecil yang masih berumur 3 tahun. Pria yang tinggal di Pradenan, Bogor ini  bekerja sebagai supir untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarga.

Di waktu luangnya, Pak Muno selalu menghabiskan waktunya dengan keluarganya. Menurutnya, waktu luang sangatlah penting mengingat rutinitas sehari-hari sebagi seorang supir yang harus menghadapi macetnya kota Bogor membuatnya mudah penat. “Waktu luang itu penting, karena kita seminggu sekali cuma ada waktu dua hari buat libur buat keluarga, makanya penting banget. Kalo lagi waktu luang, paling main aja gitu jalan sama keluarga. Rasanya tenang, kan seminggu kita berpikir untuk cari uang, kalo kaya gini sama keluarga rasanya seneng gitu.” ungkapnya saat ditanya seberapa penting leisure time untuknya.


Seperti yang dikatakan oleh khalayak pada umumnya, Pak Muno berkata bahwa kota Bogor memiliki udara yang sejuk dibandingkan dengan kota Jakarta. “Kalo di Bogor itu enaknya ngga kaya di Jakarta. Kalo disini udaranya masih agak enakan lah daripada di Jakarta.” Akan tetapi, Pak Muno sangat menyayangkan penataan transportasi yang ada di kota Bogor. Akibat kemacetan yang sering terjadi di kota Bogor, membuat para pengunjung lebih banyak menghabiskan waktu di jalan raya ketimbang di tempat wisata. Terakhir, Pak Muno berharap pemerintah daerah kota Bogor dapat memperbaiki masalah transportasi yang ada. “Kekurangannya suka macet, itu harus dibenerin supaya jangan macet aja. Waktu main di tempat wisata abis karna kena macet.” tuturnya dengan penuh harap.


Di tengah padatnya jalan kota Bogor, terdengar suara pancuran air dari tengah-tengah keramaian kota. Tempat tersebut dijuluki Air Mancur sesuai dengan keberadaan air mancurnya. Anak-anak kecil terlihat asik bermain dengan air dikala pandangan ayah dan ibu tidak lepas dari mereka. Saat saya berjumpa, Pak Didit dan istrinya sedang asik bercengkrama sambil mengarahkan mata mereka kepada dua gadis dan satu lelaki cilik yang tengah asik bermain dengan pancuran air. Pak Didit merupakan seorang karyawan bank di Jakarta.

Baginya, family time sangatlah jarang dirasakannya mengingat kesibukannya di kota Jakarta yang membuatnya sulit bertemu dengan keluarga. Maka dari itu, saat waktu luang seperti ini dihabiskan untuk menemani anak-anaknya bermain bersama dengan istri. “Saya jarang di rumah aja gitu, makanya kalo ada waktu sama anak-anak ya jalan, kalo sama istri ya belanja bulanan. Anak-anak suka main air, sering lewat sini liat orang-orang main air, jadi mereka pengen juga main air. Saya mah gamain air, cuma nongkrong aja.” ujar Pak Didit saat ditanya apa yang dilakukannya saat waktu luang.

Sebagai masyarakat kota Bogor, Pak Didit sangat merasakan kemacetan yang ada di tempat tinggalnya tersebut. “Awal bulan, minggu pertama minggu kedua udah macet Bogor, uda pusing dah. Makanya saya kalo jalan-jalan akhir-akhir bulan tanggal 20 waktu sepi. Macet bikin males.” ungkapnya. Namun, menurut Pak Didit, kelebihan dari kota Bogor adalah lokasi yang berdekatan satu sama lain. “Kemana-mana deket Bogor. Bogor kan cuma sekitaran Kebun Raya doang, ya ngga terlalu jauh lah kalo mau kemana-mana. Paling ke daerah Pajajaran, Sukasari, masi terjangkau. Tapi ya macet itu jadi males bawa mobil, makanya bawa motor.” 



(Pak Dwi di sebelah kanan)
Mengunjungi kota Bogor tidaklah lengkap jika tidak mengunjungi Surya Kencana. Wilayah yang menjadi salah satu pusat kuliner ini menjadi daya pikat tersendiri bagi para wisatawannya. Selagi saya memuaskan rasa lapar yang ada dengan soto mie khas Bogor, terlihat seorang bapak dengan dua orang temannya yang sedang bersantap dan bercengkrama di tempat yang sama. Penampilan mereka nampaklah berbeda dengan pengunjung lainnya. Mereka mengenakan busana untuk bersepeda lengkap dengan topinya. Akhirnya saya memberanikan diri untuk menghampiri mereka.

Bapak Dwi Prija Utama, atau yang akrab disapa Pak Dwi, merupakan seorang yang bekerja di divisi diagnostik di PT Roche Indonesia. Sesuai dengan busana yang digunakan, ia dengan dua kawannya memang sedang melakukan touring dari Tangerang ke Sukabumi menggunakan sepeda. Saat itu, mereka hendak kembali ke Tangerang dan kota Bogor menjadi salah satu tujuan daerah yang harus dikunjungi oleh mereka.

Waktu luang bagi Pak Dwi adalah berolahraga dengan komunitas bersepedanya mengunjungi berbagai macam tempat wisata terutama di kota Bogor. “Waktu luang sama komunitas, kita peminat touring suka mencari tempat-tempat yang asik, paling sering ke Bogor karena paling banyak lokasi yang bisa didatengin. Biasanya orang suka ke Kebun Raya Bogor, cuma ya itu, jalannya macet, coba dibikin car free day, pasti lebih ramai.” Beliau dan kawan-kawannya senang bereksplorasi untuk mengisi leisure time mereka.

Udara yang sejuk dan wisata kuliner yang  variatif menjadi daya tarik Pak Dwi dan kawan-kawan untuk sering berkunjung ke Bogor. “Pertama, udaranya nyaman. Kedua, kulinernya variatif terutama kuliner tradisional ya, kaya toge goreng. Paling sering ke Bogor, ngga hanya di Kebun Raya, kadang Curug Cilember, Curug Nangka.” Namun di sisi lain, menurut beliau pemerintah daerah kota Bogor perlu menata sarana transportasi yang ada. “Bogor cuma satu kelemahannya, angkot terlalu banyak jadi macet. Ini aja ngegoes, kita capeknya karna angkot bikin macet. Pemda belom bisa mengatur sarana transportasi yang ada, perlu penataan manajemen transportasi. Kota sejuta angkot.” ujar Pak Dwi sambil mengeluarkan unek-unek yang ada dibenaknya. Kawan dari Pak Dwi memberikan saran bagi pemerintah daerah kota Bogor agar membuat car free day di waktu tertentu sehingga baik masyarakat dan wisatawan Bogor dapat menikmati indahnya kota tanpa harus merasakan macet. “Suruh bikin city walk, mobil jangan kasi masuk, cuma orang-orang masuk. Ngga harus setiap hari, di event-event tertentu aja misal malam sabtu, malam jumat, kaya car free day. Hari sabtu kendaraan ngga ada yang lewat.”




Berkunjung ke Lapangan Sempur menjadi salah satu tujuan saya untuk melakukan observasi mengenai leisure time seseorang, karena disini lah tempat orang-orang menghabiskan waktu luang mereka dengan berolahraga. Saat saya melihat Tomy, ia sedang dengan semangatnya melempar bola ke dalam ring. Tomy merupakan mahasiswa dari Universitas Negeri Jakarta. Saat itu, ia tengah asik bermain basket bersama teman-temannya dalam waktu yang cukup lama.

Tomy melakukan kesehariannya di Jakarta, namun ia adalah masyarakat kota Bogor. Di waktu luangnya, ia meghabiskannya dengan bermain basket dan hang-out dengan kawan-kawannya. “Waktu luang ya kalo misalnya liburan main basket jadi olahraga, main sama temen, jalan-jalan.” Menurutnya, waktu luang sangatlah penting karena di tengah aktivitas yang padat, tubuh perlu beristirahat sejenak untuk mengembalikan pikiran dan tenaga seperti semula. “Waktu luang itu penting banget si soalnya di dalam kesibukkan kan harus ada istirahat juga, refreshing, makanya kalo misalnya kita ga refreshing kaya gini aja dalam seminggu minimal sekali aja, bisa-bisa nanti malah stress atau sakit. Main basket untuk refreshing.”

Menurut kacamata Tomy, kota Bogor memiliki kelebihannya sendiri yaitu udara yang adem dan sejuk dibandingkan kota-kota lainnya. Akan tetapi, sarana dan prasarana yang ada di kota Bogor ini sangatlah kurang. “Sebenernya kalo ada yang lebih bagus si dateng ke yang lebih bagus ya. Cuma karena deket rumah sama temen-temen aja. Kekurangannya masih banyak sarana prasarana yang terbengkalai. Contohnya di lapangan basket ini, bisa dilihat kaya kebersihannya kurang, ngga dijaga. Trus perbaikannya udah lama banget ini, gapernah diperbaikin lagi gaperna dirawat.” tutur Tomy ketika ditanya mengenai kampung halamannya.